Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini, yang
terbagi menjadi dua kelompok besar. Jumhur ulama mengatakan sunnah (bukan
wajib) – bahkan Ibnu Rusyd [Bidaayatul-Mujtahid, 1/121; Daarul-Hadiits] mengutip
adanya ijma’ akan ketidakwajiban ini - , sedangkan sebagian
ulama mengatakan wajib.
Di antara mereka yang mengatakan sunnah antara lain : Abu Haniifah, As-Syaafi’iy, Ahmad, Ibnu Qudaamah, An-Nawawiy, Ibnu Rajab, Ibnu ‘Aabidin, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, Lajnah Daaimah, dan yang lainnya.[1] Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Di antara mereka yang mengatakan sunnah antara lain : Abu Haniifah, As-Syaafi’iy, Ahmad, Ibnu Qudaamah, An-Nawawiy, Ibnu Rajab, Ibnu ‘Aabidin, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, Lajnah Daaimah, dan yang lainnya.[1] Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Abu Haniifah rahimahullah berkata :
ولا بأس أن يترك السترة إذا أمن المرور ولم يواجه
الطريق
“Tidak mengapa meninggalkan sutrah (ketika shalat) apabila
aman dari orang lewat dan tidak menghadap ke jalan” [Al-Fatawaa Al-Hindiyyah,
3/344; Daarul-Fikr].
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata :
واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين
المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka
tentang disukainya sutrah (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat
sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam” [Bidaayatul-Mujtahid,
1/121].[2]
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
السترة ليست شرطاً في الصلاة وإنما هي مستحبة
“Sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Ia hanyalah
disunnahkan saja” [Al-Mughniy, 4/6; Daarul-Fikr].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
يُستحبُ للمُصلي أن يكون بين يديه سترة من جداراً
أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar meletakkan sutrah
di depannya, yang berupa tembok, tiang, atau yang lainnya dan mendekat
kepadanya dengan jarak (antara dirinya dengan sutrah) tidak lebih dari tiga
hasta” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/398; Al-Maktabah Al-Islaamiy].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة
“Shalat menghadap sutrah adalah sunnah muakkadah (yang
sangat ditekankan), dan bukan kewajiban” [Tuhfatul-Ikhwaan bi-Ajwibati
Tata’allaqa bi-Arkaanil-Islaam, hal. 81].
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
السترة في الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم فإن
المأموم لا يُسن له اتخاذ سترة اكتفاءً بسترة الإمام
“Sutrah dalam shalat hukumnya sunnah muakkadah,
kecuali bagi makmun. Karena makmum tidak disunnahkan memakai sutrah, dimana mereka
telah dicukupkan dengan sutrahnya imam” [Fataawaa Arkaanil-Islaam, hal.
343 soal no. 267].
Dalil utama yang mereka pakai adalah :
عن كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض
أهله عن جده أنه : رأى النبي صلى الله عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهم والناس
يمرون بين يديه وليس بينهما سترة
Dari Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah,
dari sebagian keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah
pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada
sutrah antara keduanya (Nabi dengan Ka’bah)[Diriwayatkan oleh Ahmad
6/399, Abu Daawud no. 2016, dan yang lainnya].
عن الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله
عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة
Dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami mendatangi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di
gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di gurun sahara dimana tidak
ada di depan beliau sutrah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224, Abu Daawud no. no.
718, dan yang lainnya].
عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار
أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى
غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر
ذلك علي.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Aku datang
dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa
baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang
shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di
depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari
makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang
menyalahkanku" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76, 493, 861, 1857, dan
4412].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله إلى غير جدار أي إلى غير سترة قاله الشافعي
“Perkataannya ‘tanpa menghadap tembok’;
maksudnya adalah tanpa menghadap sutrah. Hal itu dikatakan oleh Asy-Syaafi’iy”
[Fathul-Baariy, 1/171].
Adapun ulama yang mengatakan wajib antara lain : Ahmad dalam
satu riwayatnya, Ibnu Hazm, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy,
Asy-Syaukaaniy, Al-Albaniy, Al-Wadi’iy, dan yang lainnya. Berikut sebagian
perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فهذه الأخبار كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله
عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي
صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على
عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى
الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر صدقة بن يسار سمعت بن عمر
يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى سترة وقد زجر صلى الله
عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه وسلم
“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat agar
memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid,
dari Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’[3]. Hal ini
dikarenakan ‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dapat bersutrah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang seseorang yang akan melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam
hadits Shadaqah bin Yasaar (ia berkata) : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah
kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah’. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shalat
kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau melakukan sesuatu yang
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang ?” [Shahih
Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy].
Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata
:
السترة واجبة عند جماعة من العلماء
“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama” [Al-Fataawaa
Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قوله فليُصلِ إلى سترة فيه أن اتخاذ السترة واجب
“Perkataan beliau ‘maka, hendaklah ia shalat
menghadap sutrah’; padanya terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah
(saat shalat) adalah wajib” [Nailul-Authaar, 3/5; Daarul-Hadiits].
Al-Wadi’iy rahimahullah berkata :
أما اتخاذ السترة فالصحيح الوجوب لقوله صلى الله
عليه وسلم إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدنُ منها
“Adapun permasalahan mengambil sutrah (ketika shalat), maka
yang benar hukumnya adalah wajib berdasaran sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang di antara kalian
shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan mendekatlah kepadanya”
[Dalam muhaadlarah beliau – As-ilah Al-Ikhwati min Amriikaa].
Ulama yang berpendapat wajib berpegang pada banyak dalil,
sedikit di antaranya yang dapat disebutkan :
عن ابن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع أحدا يمر بين يديك فإن أبى فلتقاتله فإن معه
القرين
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap
sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu
(ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia
bersama dengan qarin (syaithan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no.
800].
عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول اللّه صلى
الله عليه وسلم: إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila
salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke
sutrah dan mendekatlah padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 698].
عن موسى بن طلحة، عن أبيه؛ قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم "إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل. ولا يبال
من مر وراء ذلك".
Dari Muusaa bin Thalhah, dari ayahnya, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila
salah seorang di antara kalian meletakkan sesuatu di depannya seukuran pelana
kuda (untuk dijadikan sutrah), hendaknya ia shalat. Dan janganlah ia pedulikan
orang-orang yang yang melintas di belakangnya (sutrah)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 241].
Hadits-hadits di atas – dan juga selainnya – berisi
perintah. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa asal dari sebuah perintah
menunjukkan akan wajibnya, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Dan dalam hal
ini – menurut mereka - , tidak ada dalil shahih yang memalingkan asal kewajiban
tersebut.
Pembahasan
Pembahasan dalam permasalahan hukum sutrah ini akan berputar
pada pembahasan dalil yang dianggap memalingkan dari asal kewajiban dalam
perintah. Atau dengan kata lain, adakah dalil shahih dan sharih (jelas)
dari perkataan atau perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
tidak wajibnya sutrah ? Pernahkan beliau shalat tanpa menggunakan sutrah ?
Para ulama yang berpendapat sunnahnya telah membawakan
beberapa dalilnya. Sekarang akan kita bahas secara ringkas apakah pendalilan
tersebut berterima ataukah tidak.
1. Hadits
Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah radliyallaahu 'anhu.
حدثنا أحمد بن حنبل، ثنا سفيان بن عيينة، قال:
حدثني كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله، عن جده أنه رأى النبي صلى
اللّه عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهمٍ والناس يمرون بين يديه، وليس بينهما
سترة
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian
keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm.
Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara
keduanya [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399 dan Abu Daawud no. 2016].
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy no. 588, Al-Fasawiy
dalam Al-Ma’rifah 2/702, Abu Ya’laa no. 7173, serta
Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461 dan Syarh
Musykilil-Aatsaar 7/23 no. 2607; semuanya dari jalan Sufyaan bin
‘Uyainah, dari Katsiir bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibbaan dalam Al-Mawaarid 2/119
no. 414 dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-‘Anbariy, dari Katsii bin Katsiir,
dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad ini lemah karena mubham-nya perantara
antara Katsiir bin Katsiir dengan kakeknya.
Sufyaan bin ‘Uyainah telah diselisihi oleh Ibnu
Juraij dimana ia meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya,
dari kakeknya secara marfu’, sebagaimana diriwayatkan oleh : Ahmad
6/399, Ibnu Maajah no. 2958, An-Nasaa’iy 2/67 & 5/235, Ath-Thahawiy
dalam Syarh Musykil-Aatsaar 7/23 no. 2608, Ath-Thabaraaniy
dalamAl-Kabiir 20/289-290 no. 683.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 2387, Ibnu Abi
‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 814, Ath-Thahawiy
dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/25 no. 2609 danSyarh
Ma’aanil-Aatsaar 1/461, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/288
no. 680 & 20/289 no. 682 & 20/290-291 no. 685 & 687, Ibnu Hibbaan
no. 2364, dan Ibnu Qaani’ 3/101; semuanya dari jalan Katsiir bin Katsiir,
dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Selain itu, Ibnu Juraij juga meriwayatkan dari Katsiir bin
Katsiir, dari ayahnya, daribeberapa pembesar (Bani) Al-Muthallib, dari
Al-Muthallib sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 20/290 no. 684; akan
tetapi ini tidak mahfudhsebagaimana dikatakan Al-Baihaqiy 2/273.
Sufyan bin ‘Uyainah pernah meng-cross check kebenaran
riwayat Katsiir bin Katsiir dari ayahnya ini, kepada Katsiir bin Katsiir secara
langsung.
قال سفيان وكان ابن جريج أنبأ عنه قال حدثنا كثير
عن أبيه فسألته فقال ليس من أبي سمعته ولكن من بعض أهلي عن جدي : أن النبي صلى
الله عليه وسلم صلى مما يلي باب بني سهم ليس بينه وبين الطواف سترة
Telah berkata Sufyaan : “Ibnu Juraij telah memberitakan
darinya : Telah menceritakan kepada kami Katsiir, dari ayahnya. Maka aku pun
bertanya kepada Katsiir, dan ia berkata : ‘Bukan dari ayahku aku mendengar
riwayat itu, akan tetapi dari sebagian keluargaku, dari kakekku : Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tempat
setelah pintu Bani Sahm. Tidak ada sutrah antara beliau dengan orang-orang yang
thawaf” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar 7/23-24, dan Al-Baihaqiy 2/273].
Ringkasnya, riwayat Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah ini tidak
shahih (dla’iif).
2. Al-Fadhl
bin Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حدثنا عبد الملك بن شعيب بن الليث قال حدثني أبي
عن جدي عن يحيى بن أيوب عن محمد بن عمر بن علي عن عباس بن عبيد الله بن عباس عن
الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه
عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة وحمارة لنا وكلبة تعبثان بين يديه فما بالى
ذلك
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin
Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari
Yahyaa bin Ayyuub, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ‘Abbaas bin
‘Ubaidillah bin ‘Abbaas, dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami
mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan kami berada
di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di sahara dimana tidak ada
di depan beliau sutrah. Sementara itu seekor keledai dan seekor anjing
berman-main di depan beliau, dan beliau pun tidak menghiraukannya”
[Diriwayatkan Abu Daawud no. 718].
‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d Al-Fahmiy
Al-Mishriy, Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah (w. 248 H).
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 623 no.
4213].
Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy
Al-Mishriy, Abu ‘Abdil-Malik; seorang yang tsiqah, pandai,
lagi faqiih (135-199 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 438 no. 2821].
Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy,
Abul-Haarits; seorang yangtsiqah, tsabat, faqiih,
lagi imam (92/93/94-175/176/177 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 817 no. 5720].
Yahyaa bin Ayyuub Al-Ghaafiqiy, Abul-‘Abbaas Al-Mishriy;
seorang yang shaduuq, namun kadang keliru (w. 168 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslm dalam Shahih-nya [idem, hal. 1049 no.
7561].
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy; seorang yangshaduuq (w. setelah tahun 130 H) [idem,
hal. 881 no. 6210].
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah seorang yang maqbuul (yaitu
dalam mutaba’ah). Ibnu Hazm telah men-ta’lil hadits
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah ini, karena ia tidak pernah bertemu dengan pamannya,
Al-Fadhl bin ‘Abbaas. Apa yang dikatakan Ibnu Hazm ini disepakati Ibnu Hajar [Tahdziibut-Tahdziib,
5/123].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy 1/460, Ath-Thabaraaniy
18/no. 756, Al-Baihaqiy 2/278, dan Al-Baghawiy no. 549; semuanya dari jalan
Yahyaa bin Ayyuub, selanjutnya seperti hadits di atas.
Penghukuman riwayat ini adalah lemah (dla’if).
Dikatakan, hadits di atas mempunyai syaahid :
حدثنا أبو معاوية حدثنا الحجاج عن الحكم عن يحيى
بن الجزار عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه
شيء.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah : Telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj, dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar,
dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat di tanah lapang, tidak ada sesuatu pun di depan
beliau (yang menjadi sutrah) [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224].
Abu Mu’aawiyyah, ia adalah Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy
As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (113-194/195
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib,
hal. 840 no. 5878].
Al-Hajjaaj, ia adalah Ibnu Arthaah bin Tsaur bin Hubairah
An-Nakha’iy; seorang yang hasan haditsnya lagi mudallis. Dipakai
Muslim dalam Shahih-nya. Adz-Dzahabiy memasukkannya
dalam kitab Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au
Shaalihul-Hadiits hal. 159-160 no. 78. Al-Albaaniy menerima riwayatnya
selain periwayatannya yang mudallas sebagaimana nampak
pada Irwaaul-Ghaliil 7/330. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth
menyimpulkan dirinya seorang yang shaduuq, hasan haditsnya,
namun mudallis [Tahriirut-Taqriib, 1/250-251 no. 1119].
Al-Hakam, ia adalah Ibnu ‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad;
seorang yang tsiqah,tsabat, lagi faqiih (50-113/114/115
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [At-Taqriib,
hal. 263 no. 1461]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua perawi mudallis,
pada kitabnya Thabaqaatul-Mudallisiin no. 43.
Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib, 4/80 no.
7519].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 1/278, Abu Ya’laa
no. 2601, dan Al-Baihaqiy dari jalan Abu Mu’aawiyyah, selanjutanya seperti
hadits di atas.
Riwayat ini juga lemah, karena Hajjaaj bin Al-Arthaah
yang mudallis. Di sini ia membawakan dengan ‘an’anah.
Selain itu, riwayat ini juga munqathi’ (terputus), karena
Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu
‘anhu [lihat : Musnad Al-Imam Ahmad 1/291].
Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy dalam periwayatan dari
Yahyaa bin Al-Jazzaar, mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin
Murrah sebagai berikut :
أخبرنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت يحيى بن
الجزار عن بن عباس قال جئت أنا وغلام من بني هاشم على حمار فمررنا بين يدي النبي
صلى الله عليه وسلم فنزلنا وتركنا الحمار يأكل من بقل الأرض أو قال من نبات الأرض
فدخلنا معه في الصلاة قال رجل لشعبة كان بين يديه عنزة قال لا
Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru bin
Murrah, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas, ia
berkata : “Aku dan seorang anak dari Bani Haasyim datang dengan mengendarai
keledai. Lalu kami lewat di depan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kami pun turun dan membiarkan keledai kami memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup
di bumi. Lalu kami masuk ikut shalat bersama beliau”. Seorang laki-laki
bertanya kepada Syu’bah : “Apakah di depan beliau ada ‘anazah (sebagai
sutrah) ?”. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Al-Ja’d
dalam Musnad-nya no. 92, dan darinya Abu Ya’laa no. 2423].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy
Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh,
lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 436 no. 2805].
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits
Al-Muradiy, Abu ‘Abdillah/’Abdirrahman Al-Kuufiy Al-A’maa; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w.
116/118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 745 no. 5147].
Al-Albaaniy menghukumi tambahan dialog antara laki-laki di
atas dengan Syu’bah adalah syaadz, karena ini termasuk penyendirian
‘Aliy bin Ja’d [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/680].
Menurut kami, ketidakabsahan tambahan tersebut bukan karena
faktor ‘Aliy bin Al-Ja’d (bin ‘Ubaid Al-Jauhariy Al-Baghdaadiy), karena ia
seorang yang tsiqah lagitsabat, dipakai Al-Bukhaariy
dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 691 no. 4732].
Ketidakabsahan tambahan tersebut tidak lain karena riwayat ini lemah (munqathi’)
sebagaimana riwayat sebelumnya.
Riwayat Yahyaa bin Al-Jazzaar dari Ibnu ‘Abbaas yang
tersambung adalah melalui perantaraan Shuhaib Al-Mishriy, seorang yang shaduuq [Tahriirut-Taqriib,
2/144 no. 2956], sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 716-717, Ibnu
Khuzaimah no. 836 & 882, Ibnu Ja’d no. 163, dan Abu Ya’laa no. 2749;
semuanya dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Shuhaib, dari Ibnu
‘Abbaas, ia berkata :
جئت أنا وغلام من بني عبد المطلب على حمار، ورسول
اللّه صلى الله عليه وسلم يصلي فنزل ونزلت، وتركنا الحمار أمام الصف فما بالاه،
وجاءت جاريتان من بني عبد المطلب فدخلتا بين الصف فما بالى ذلك.
“Aku dan seorang anak dari Bani ‘Abdil-Muthallib datang
dengan mengendarai keledai, sedangkan pada waktu itu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sedang shalat. Lalu anak itu turun, dan aku pun juga
turun (dari keledai). Kami meninggalkan keledai di depan shaff, dan beliau
tidak menghiraukannya. Lalu, datanglah dua orang budak perempuan dari Bani
‘Abdil-Muthallib yang masuk di antara shaf, dan beliau pun tidak
menghiraukannya” [selesai – lafadh dari Abu Daawud].
Sanadnya hasan. Riwayat ini tidak ada tambahan
keterangan ketidakadaan ‘anazahatau sutrah di depan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini menunjukkan bahwa tambahan lafadh ‘tidak
ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi sutrah)’ dalam jalur
Yahyaa bin Al-Jazzaar adalah tidaklahmahfudh.
Dikuatkan lagi, Shuhaib ini mempunyai mutaba’ah dari
‘Ubaidullah bin ‘Abdullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/219, Ibnu Abi
Syaibah 1/278 & 280, Muslim no. 504, Abu Daawud no. 715, Ibnu Maajah no.
947, An-Nasaa’iy 2/64, Abu Ya’laa no. 2382, Ibnu Khuzaimah no. 832, dan yang
lainnya; semuanya dari Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah,
dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي بعرفة. فجئت
أنا والفضل على أتان. فمررنا على بعض الصف. فنزلنا عنها وتركناها. ثم دخلنا في
الصف
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat
di ‘Arafah[4]. Lalu aku
datang bersama Al-Fadhl dengan mengendarai keledai betina. Kami lewat di
sebagian shaff. Lalu kami turun dan meninggalkan keledai itu, yang kemudian
kami masuk ke dalam shaff” [selesai – lafadh Ibnu Maajah].
Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu
Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah (107-198
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 395 no. 2464].
Az-Zuhriy, ia adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin
‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh,
lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud
Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih,
lagi tsabat (w. 94/97 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahihnya [idem, hal. 640 no. 4338].
Riwayat ini shahih.
[catatan kecil : Ibnu ‘Uyainah dalam riwayat ini
mempunyai mutaba’ah dari Maalik sebagaimana akan dibahas pada
hadits no. 3 di bawah].
Ringkas kata, hadits yang dianggap sebagai syaahid tidaklah
bisa dipergunakan sebagai syahiid (silakan lihat pada hadits
no. 3 di bawah). Maka, hadits kedua ini pun masih tetap dengan kelemahannya.
Berbeda halnya dengan Al-Arna’uth yang menghukumi hadits
kedua ini hasan li-ghairihi dengan adanya syaahid yang
disebutkan di atas. Wallaahu a’lam.
3. Hadits
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
حدثنا إسماعيل بن أبي أويس قال: حدثني مالك، عن
ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة، عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت
راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه
وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت
في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Aus, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata :
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir
menginjak masa baligh, dan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang
shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di
depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari
makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang
menyalahkanku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76].
Hadits ini juga tidak sharih (jelas) bahwa
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan
sutrah. Dinding/tembok adalah salah satu jenis dari sutrah. Penafikkan sebagian
tidaklah mengkonsekuensikan penafikan semuanya sebagaimana dimaklumi
dalam ushul.
Ilustrasinya : Dony adalah salah satu anak dari tiga orang
anak yang dimiliki oleh Pak Noto. Jika dikatakan : Dony tidak ada di rumah, maka
apakah itu berkonsekuensi anak-anak Pak Noto yang lain juga tidak ada di rumah
?.
Mina/’Arafah pada waktu itu memang belum mempunyai bangunan.
Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ‘anazah (tombak
kecil) yang ditancapkan di depannya yang beliau pergunakan sebagai sutrah.
Perhatikan hadits berikut :
حدثنا يزيد بن أبي حكيم حدثنا الحكم يعني ابن
أبان قال: سمعت عكرمة يقول: قال ابن عباس قال : ركزت العنزة بيت يدي النبي صلى
الله عليه وسلم بعرفات فصلى اليها والحمار يمر من وراء العنزة.
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi Hakiim : Telah
menceritakan kepada kami Al-Hakam – yaitu Ibnu Abaan - , ia berkata : Aku
mendengar ‘Ikrimah berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbaas : "Al-‘Anazah (tombak
kecil) ditancapkan di depan Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam di
‘Arafah. Beliau shalat dengan menghadap ke arahnya sementara keledai melintas
di belakang tongkat tersebut" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/243].
Yaziid bin Abi Hakiim Al-Kinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Adniy;
seorang yang shaduuq (w. setelah 220 H). Dipakai Al-Bukhaariy
dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 1073 no. 7753].
Al-Hakam bin Abaan Al-‘Adniy, Abu ‘Iisaa; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid,
namun mempunyai beberapa keraguan (w. 154 H pada usia 84 tahun) [idem,
hal. 261 no. 1447].
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas;
seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w.
107 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya
[idem, hal. 687-688 no. 4707].
Sanad riwayat ini hasan.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa nash-nash yang
diangap sebagai pemalingan wajibnya sutrah kepada sunnah/penganjuran (saja)
adalah lemah. Pendek kata, yang rajih, hukum memakai sutrah ketika shalat
adalah wajib.
Apakah pendalilan dan perkataan ulama tentang permasalahan
ini hanya yang tercantum di atas ? Tentu saja tidak. Masih banyak yang lain.
Apa yang saya tuliskan – mungkin - hanya pengulangan atau penambahan dari
artikel-artikel yang telah ada.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – nJakal, Jokja].
ومن كان في سفر فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة
وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة
“Barangsiapa dalam keadaan safar, maka tidak mengapa ia
shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun jika ia dalam keadaan hadir (tidak
safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali menghadap ke sutrah” [Al-Mudawwanah,
1/289].
هي سنة مشروعة، لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا
صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد
يمر، فليقاتله، فإنه شيطان »
وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها
للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام
السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه.........
“Ia (sutrah) merupakan sunnah yang disyari’atkan berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila
salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap sutrah, dan
mendekatlah padanya. Dan jangan ia biarkan seorang pun untuk melintas di
depannya. Apabila ada seseorang yang melintas, maka perangilah ia, karena
sesungguhnya ia adalah syaithan’.
Sutrah itu bukan sesutau yang wajib menurut kesepakatan
para fuqahaa’, karena perintah untuk menghadap sutrah itu adalah
anjuran saja. Orang yang tidak menghadap shalat, maka batallah shalatnya;
padahal sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Salaf tidak selalu
menggunakan sutrah. Seandainya hal itu wajib, niscaya mereka akan selalu
menggunakannya…..” [Al-Fiqhul-Islaamiy, 1/752; Daarul-Fikr].
Namun, apa yang diklaim sebagai ijma’ oleh
Ibnu Rusyd ataupun Az-Zuhailiy ini tidak lah benar.
sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar